Aceh Timur | Setelah 15 tahun damai, Aceh sampai saat ini menyandang perangkat 6 Provinsi termiskin di Indonesia. Padahal triliunan Dana Otsus telah dilontarkan untuk pembangunan.
“Damai saat ini adalah kedamaian yang paling lama dalam sejarah peradaban di bumi Aceh. Tetapi, Aceh belum bisa keluar dari kubangan kemiskinan pasca perdamaian,” umbar Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Aceh Timur, Mahyuddin Kubar melalui rilisnya, Sabtu (04/01) kepada wartanusa.id.
Data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 15 Juli 2019 lalu menyebutkan bahwa, Aceh dalam urutan ke 6 Provinsi termiskin di Indonesia persentasenya sebesar 15,32 % per Maret 2019.
Kembali Mayuddin memaparkan, Setelah perang dengan Belanda ratusan tahun, bersambung perang dengan Jepang, Konflik Prang Cumbok, DI/TII sampai konflik AM/RI. Hingga berakhir konflik pada 15 Agustus 2015, saat penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) atas kehendak ALLAH SWT hingga mencapai kedamaian yang kita rasakan saat ini. “Aceh masih jauh dari kesejahteraan,” ungkapnya pilu.
Lanjutnya menyambung, “Pasca perdamaian bersemai dibumi ini triliunan dana dilontarkan untuk Aceh agar daerah bekas konflik ini diharapkan bisa lebih maju dan sejahtera,”
Pada tahun 2019 lalu Aceh mendapatkan Rp 8, 357 triliun dari Dana Otsus. Dari 34 Provinsi Aceh juga tercatat sebagai provinsi ke 5 dengan jumlah APBD tertinggi yang mencapai Rp 17,327 triliun (APBA-P 2019).
Walau pada kenyataannya sebagai provinsi yang berada dipapan atas, namun tidak mampu merubah Aceh sebagai Provinsi peringkat ke-6 termiskin di Indonesia, dimana letak ketidak beresan itu hingga Aceh belum bisa maju, rakyat menanti jawaban itu,” tegas Mahyuddin yang juga pegiat media itu.
Dia juga menambahkan, Dari data yang diperoleh, kondisi Aceh masih termiskin di Sumatera, apalagi jika pada 2027 nanti kalau benar-benar dana Otsus tidak diperpanjang lagi, maka kondisi kemiskinan bisa lebih terpuruk lagi nantinya.
“Ini tidak jauh seperti kalimat ‘Tikoh Mate Lam Umpang Breuh’,” ungkapan Mahyuddin dalam bahasa Aceh yang artinya “Tikos mati didalam karung beras”.
Sungguh tak lazim, jika angka kemiskinan tertinggi sementara dilain sisi tercatat sebagai daerah yang memiliki banyak uang, makanya kita berharap kedepan harus ada perencanaan yang benar-benar bisa menuntaskan angka kemiskinan, terutama pemerintah harus menciptakan lapangan kerja untuk masyarakat,” ulasnya.
Dikatakan Mahyuddin, yang menjadi pertanyaan mengapa Aceh bisa miskin. Bukankah Aceh memiliki banyak uang, sumber daya alam yang melimpah, masyarakatnya dan pemimpinnya juga cerdas-cerdas, dan yang lebih penting saat ini Aceh juga sudah tidak lagi berkonflik. Tapi kenapa kita tidak bisa bangkit, investasi berjalan juga tidak maksimal. Masyarakat miskin masih banyak, pengangguran juga semakin bertaburan.
Apa yang menjadi problem sehingga harus begini. Tolonglah para elit dan semua rakyat sama-sama berfikir dan menfilter apa yang mesti kita lakukan segera mungkin, agar Aceh bisa bangkit dari ketertinggalan.
“Populasi terus meningkat setiap tahun, angka pengangguran juga terus bertambah, ada yang alumni SMA/sederajat, begitu juga dengan mahasiswa, setiap tahun bertambah, sementara lapangan pekerjaan tidak ada.
“Makanya pemerintah kita harus bisa menggandeng investor atau ciptakan lapangan kerja agar bisa menurunkan angka kemiskinan,” sebut mantan Aktivis HMI Cabang Langsa ini.
Karena, tambah dia, kalaupun mereka dilatih berwirausaha misalnya, pandai menjahit, terus yang akan beli itu siapa, kan masyarakat juga, kalau masyakatar gak ada lapangan pekerjaan bagai mana mau dapat uang untuk belikan itu hasil kerajinan dan sebagainya.
“Sepertinya harus adanya pabrik-pabrik milik BUMD, dan menciptakan iklim investasi lainnya agar terserap tenaga kerja, pemerintah harus ciptakan lapangan kerja dulu, kalau ekonomi rakyat sudah mantap tentu daerah bisa lebih mandiri,” harapnya.
Namun kalau sekian besar anggaran bihabiskan hanya untuk proyek melulu yang ada selalu ribut masalah bagi-bagi proyek. Infrastruktur penting, namun yang jauh lebih penting adalah menciptakan lapangan kerja,” tutupnya.
Wartawan: Ryan Mufti
Sumber: Wartanusa Nasional
Discussion about this post